BANDA ACEH, Sejumlah efek buruk yang diperkirakan dampak dari perubahan iklim mulai terjadi di Provinsi Aceh. Efek buruk itu, di antaranya, ialah kualitas panen menurun, suhu meningkat, kekeringan, hingga bencana alam. Tanpa gerakan pencegahan, dampak perubahan iklim akan lebih masif.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Deforestasi, kerusakan lingkungan, dan menekan dampak perubahan iklim”, Kamis (29/12/2022), di Banda Aceh. Diskusi itu digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).
Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Suraiya Kamaruzzaman mengatakan, perubahan iklim fakta yang harus diterima, tetapi perlu upaya mitigasi agar dampak bisa dikurangi. ”Sejumlah dampak mulai terjadi, seperti kekeringan, kenaikan suhu, penurunan kesuburan tanah, bencana alam, dan gagal panen,” kata Suraiya.
Perubahan iklim dipicu oleh ragam aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti emisi korban, penggunaan energi kotor, dan alih fungsi hutan. Suraiya bersama tim pernah melakukan riset dampak perubahan iklim di Aceh Besar. Mereka menemukan adanya kenaikan suhu bumi, kekeringan ekstrem, dan penurunan panen.
Suraiya mengatakan, sejak 1992 hingga 2020, Aceh Besar mengalami perubahan rerata suhu dari 27 derajat celsius menjadi di atasnya. ”Kenaikan mungkin nol koma, tetapi dampaknya sangat besar,” kata Suraiya.
Selain perubahan suhu, Aceh Besar mengalami peningkatan curah hujan mencapai 593 mm per tahun. Namun, karena deforestasi membuat air hujan tidak terserap ke dalam tanah, justru mengalir langsung ke laut. Curah hujan yang tinggi juga telah memicu potensi bencana alam, seperti banjir dan longsor.
Suraiya mengatakan, produksi dan kualitas panen padi di Aceh Besar juga menurun. ”Merespons perubahan iklim perlu ada adaptasi pola pertanian agar petani tetap mendapatkan hasil maksimal,” kata Suraiya.
Menurut Suraiya, penanganan dapat dilakukan dengan mengelola lingkungan dan hutan sesuai fungsinya. Pemanfaatan sumber hutan non kayu juga perlu didorong lebih besar.
Staf Komunikasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Irham Hudaya Yunard, mengatakan, kawasan yang mengalami deforestasi tinggi juga mengalami bencana alam yang tinggi. Dia mencontoh tiga kabupaten dengan deforestasi tinggi adalah Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Tengah.
Sebagaimana diketahui, Aceh Utara dan Aceh Timur kawasan paling sering dilanda banjir. ”Kerusakan di hulu, tetapi kawasan hilir yang menerima dampak banjir” kata Irham.
Aceh mengalami deforestasi yang cukup besar. Pada 1985, luas tutupan hutan Aceh 4,1 juta hektar, tetapi pada 2021 menyusut menjadi 2,9 juta hektar. Setiap tahun Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai belasan ribu hektar.
Data tahun 2019 yang dirilis oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), tutupan hutan di Aceh saat ini diprediksi tersisa 2,9 juta hektar. Deforestasi terjadi di kawasan hutan lindung, area pengguna lain, hutan produksi, taman nasional, hingga suaka marga satwa.
Pada 2021 (periode Juli 2020-Juni 2021), Yayasan HAkA melaporkan Aceh kehilangan tutupan hutan 19.443 hektar atau setara dengan luas Pulau Weh, Sabang. Dalam kata lain, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 54 hektar per hari.
Hasil pantauan HAkA, penyebab deforestasi karena illegal logging, alih fungsi, hingga jadi lokasi pembangunan infrastruktur. ”Namun, perlu riset lebih dalam sejauh mana perubahan iklim karena deforestasi,” kata Irham.
Koordinator Seksi Pengendalian Perubahan Iklim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rikki Mulyawan mengatakan, untuk menekan dampak perubahan iklim, pemerintah membentuk desa iklim dan mengelola kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.
Program perhutanan sosial dianggap juga dapat memperbaiki pengelolaan kawasan hutan. Namun, tutupan hutan Aceh masih paling luas di Sumatera.