JIKA ditanya “apa Bahasa Aceh-nya terima kasih?”
Sebagian masyarakat akan menjawab “teurimong geunaseh.”
Padahal bahasa tersebut merupakan terjemahan kata secara harfiah dari kata “terima kasih.”
Namun karena pengaruh penyerapan dan pembauran budaya yang lebih dikenal dengan istilah asimilasi, terbentuklah frase “teurimong geunaseh.”
Hal ini sesuai dengan pemaparan dari pakar sosiolinguistik Unsyiah, Dr. Bukhari Daud, M.Ed, dalam seminar yang berlangsung di Universtas Oslo, Norwegia pada 18 November 2005 yang dikutip dari detikcom (20/11/2005).
Menurutnya, ucapan terimakasih memang tidak dikenal dalam budaya Aceh.
Bagi orang Aceh, apabila mendapat hadiah atau pertolongan mereka akan mengucapkan Alhamdulillah, kemudian rasa terima kasih tersebut akan diungkapkan melalui tindakan nyata.
Dalam keseharian orang Aceh, pengucapan kata “teurimong geunaseh” sangat asing terdengar dan digunakan pada tempat umum, tidak seperti di luar aceh yang terbiasa dengan pengucapan “terima kasih” pada kesehariannya seperti sehabis transaksi jual-beli.
Di pasar tradisional Aceh, sehabis proses jual beli, pembeli yang akan berpamitan akan mengucapkan “ka beh” yang artinya “sudah ya”,
Namun setelah asimilasi budaya orang orang Aceh mulai menggunakan kata “makasih beh” yang artinya “makasih ya” dan belum pernah terdengar penggunaan kata “teurimong geunaseh” di lingkungan pasar tradisional.
Bagaimana saat ditolong seseorang?
Seperti memberikan bantuan uang kepada pengemis tua di jalanan lampu lalu lintas.
Tetap saja, tidak terdengar dari bibirnya kata “teurimong geunaseh.”
Yang keluar hanyalah “alhamdulillah” dan tidak lebih.
Mungkin hal ini bagi sebagian masyarakat di luar Aceh beranggapan tidak menghargai orang lain.
Namun tidak bagi masyarakat Aceh karena sudah sama-sama mengerti kalau semua rezeki datang dari Allah dan pertolongan pun datang dari Allah.
Bukan berarti orang Aceh tidak tahu terima kasih.
Kalau orang aceh tahu terima kasih dan tidak ramah, tentu tak ada hadih maja ‘Meunyoe hate hana teupeh, padi bijeh dipeutaba. Meunyoe hate ka teupeh, bue leubeh han meuteumee rasa’, yang berarti ‘kalau hati tidak tersakit, biji padi pun diberi. kalau hati sudah tersakiti, nasi tambah pun tidak berasa apa-apa.’
Ada kebiasaan unik berterima kasih di lingkungan hidup masyarakat Aceh.
Saat benar-benar merasa terbantu, orang Aceh akan mengucapkan terima kasihnya, tanpa kata terima kasih.
Biasanya, ucapan terima kasih dituturkan melalui doa-doa, seperti “beumurah raseuki” yang artinya semoga dimudahkan rezekinya, “beupanyang umue” yang artinya semoga dipanjangkan umurnya, “beumeubahgia” yang artinya semoga berbahagia, dan sebagainya. (*)