INFOLEUSER.COM – Masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan hutan, sebagian besar hasil hutan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik itu hasil alam non kayu dan satwa satwa yang tak di lindungi.
Tak terkecuali di Hutan Leuser menyimpan banyak kekayaan alam yang melimpah tak jarang masyarakat lokal memungut hasil alam yang tersedia di alam tersebut baik dari hutan dan sungainya.
Bagi masyarakat adat, keluar masuk hutan telah dilakoni sejak turun temurun baik itu berburu, mengambil hasil alam non kayu dan mencari ikan bagi nelayan di sekitar perairan Sungai Leuser tersebut.
Kendati demikian masyarakat lokal ketika hendak pergi ke hutan, biasanya tetap mempraktekkan budaya lokal yang sampai hari ini dipertahankan kearifannya.
Sabri, warga Pining mengatakan, mereka ketika mencari rezeki ke kawasan hutan terlebih dahulu membakar kemeyan atau melakukan ritual kenduri tujuannya meminta kepada sang Khalik supaya diberi keselamatan dan kelancaran serta terhindar dari mara bahaya selama melakukan aktivitas mencari rezeki di kawasan hutan tersebut.
Sabri selain berprofesi sebagai petani, juga sering menggantungkan hidup dari hasil hutan menjelaskan.
Biasanya, masyarakat pergi dengan berkelompok, bisa diisi 10 orang atau 15 orang yang dalam satu grup tersebut dan pergi berminggu minggu dan berbulan dengan membawa perlengkapan, bekal sesuai target.
Pun demikian tempat penginapan kemping berpindah pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain sebutnya.
Meski dengan metode mereka pergi ke hutan masih menggunakan alat tradisional tanpa memanfaatkan teknologi canggih seperti peta, kompas, dan GPS hanya menggunakan jasa tunjuk atau pemandu jalan. (Orang yang biasa menguasai kawasan hutan tersebut).
Tak seperti para pendaki sekarang dibekali dengan alat lengkap dan memadai. makanya potensi tersesat tak bisa dielakkan.
Pun demikian dengan perkiraan BMKG masyarakat masih awan menggunakan teknologi dan aplikasi hanya menggunakan perkiraan alam.
“Apalagi sekarang perubahan iklim tak menentu sulit di tebak sedikit menyulitkan bagi warga hendak pergi ke hutan. artinya, perginya kemarau tiba tiba sudah sampai tujuan ke hujan.” jelas Sabri.
Di samping itu, Apabila telah jauh menjelajahi hutan dan bingung keluar tak jarang masyarakat melihat kode alam dengan memperhatikan akar yang melingkari batang kayu, karena biasanya akar kayu berputar ke arah di mana matahari terbit atau memanjat pohon untuk melihat arah balik.
Kendati demikian tak semua masyarakat pergi ke hutan pergi dengan selamat namun ada juga bernasib malang, seperti yang dikisahkan baru baru ini oleh warga Pining.
Aman Azmi mengaku pernah tersesat selama 4 hari saat mencari kayu Gaharu di Hutan Leuser, bersama 5 rekannya dan tak makan selama 4 hari, hanya memakan daunan yang ada di hutan.
“Kondisi kita lemah dan antara kawan kadang kita gak saling percaya, dan ada juga pengaruh mistik, kita setengah sadar ia mengisahkan,” katanya.
Sementara dari warga yang lain, Muhammad, apabila ada kejadian tersesat biasanya masyarakat setempat membentuk tim pencarian dengan melibatkan warga dan dikomandoi Pengulu (Geucik).
Mereka mencari di mana kawasan korban tersesat baru setelah tak bisa ditangani mengajukan bantuan ke jalur pemerintahan baik itu melapor ke pihak berwajib dan pihak BPBD dan Basarnas.
Meski pun lembaga tersebut ikut dalam proses pencarian tetap di dampingi warga setempat sebutnya.
Selanjutnya, ketika telah di temukan dengan selamat ada cara penanganan bagi masyarakat adat tak memberi makan sepuasnya bagi korban meski pun dia dalam kondisi sangat lapar dan haus, tapi di awali dengan air nasi mendidih, (buih nasi).
Lalu diberikan air tebu baru setelah kondisinya perlahan pulih diizikan makan semaunya dan bagi para korban setelah kembali ke kampung dilaksanakan ritual adat seperti ( peusejuk) ditepungtawari. (*)