Sore itu, 17 April 2023, matahari mulai bergerak naik. Udara sudah terasa terik. Sejumlah ibu-ibu tampak berjalan menuju sebuah sungai.
Sungai itu adalah Sungai Seumayam.
Sungai Seumayam merupakan sungai besar yang membentang dari Babahrot, Abdya hingga bermuara ke Kuala Seumayam dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.
“Kami biasanya bisa mendapatkan sampai sekarung, tapi ini belum tau. Apalagi sekarang sudah mulai berkurang (lokan),” kata Ernawati, ibu paruh baya dalam rombongan pencari lokal di Sungai Seumayam.
Di sungai ini, masih banyak masyarakat desa sekitar yang menggantungkan hidupnya mencari ikan lele, bawal, jurung, lokan.
Masyarakat di Desa Kuala Seumayam umumnya berprofesi sebagai pencari ikan, baik di sungai, di rawa maupun di laut.
Mereka menangkap ikan kerling atau jurung (genus: Tor), bawal (Colossoma macropomu), kerang sungai atau lokan (Polymesoda sp.), udang dan kepiting di sungai Kuala Seumayam dan menjualnya ke pasar lokal.
Mereka juga mengumpulkan lokan meskipun hanya sekali seminggu dengan cara menyelam hingga ke dasar sungai tanpa menggunakan peralatan selam yang memadai.
Dalam sehari, mereka bisa memperoleh satu karung atau setara 20 kg dengan harga Rp. 110.000 per karung. Lokan mudah diperoleh pada saat air surut.
Selain itu, mereka juga mencari ikan lele. Sebelum Tsunami, seorang nelayan bisa memperoleh 30 – 50 kg lele per hari.
Namun, penurunan jumlah lokan dan ikan lele justru dirasakan oleh masyarakat sejak lahan mulai banyak dibuka untuk lahan perkebunan.
Pendapatan para pencari lokan ini tidak sebanyak dulu.
Hal ini terjadi karena makin berkurangnya lokan di Sungai Seumayam.
“Sekarang untuk dapat sekarang (lokan) kami harus mencari sampai seharian, beda dengan 10 tahun lalu,” kata Ernawati.
Banyak faktor yang memengaruhi kurangnya lokan dan ikan di Sungai Seumayam, salah satunya adalah faktor adanya limbah pabrik kelapa sawit di dalam sungai.
Kasus pencemaran sungai pernah beberapa kali terjadi.
“Kalau dulu, di halaman belakang rumahpun kami bisa mengambil banyak lele, tetapi sekarang lele sudah mulai jarang,” kata warga lainnya.
“Sekarang semakin banyak lahan gambut yang dikeringkan dan diubah menjadi kebun, akibatnya ya rawa tempat dimana ikan tinggal menjadi semakin sedikit,” lanjutnya.
Saat ini, warga harus mengeluarkan biaya dan meluangkan waktu berhari-hari untuk mendapatkan ikan lele di kawasan Rawa Tripa.
Kerja keras tapi hasil semakin minim
Sekelompok kecil nelayan yang terdiri dari 2–3 orang pergi ke lokasi desa lama di Kuala Seumayam Pesisir dengan menggunakan perahu motor (robin) sampan atau (jalo) menuju rawa-rawa berhutan untuk memasang bubu (perangkap ikan).
Biasanya mereka menginap 3 – 4 malam di lokasi, memasang bubu pada sore atau malam hari, dan mengambil hasil lele keesokan harinya.
Buah kelapa sawit dan kelapa yang dibusukkan atau kacang kuning digunakan sebagai umpan.
Meskipun demikian, hasil yang mereka peroleh jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan sebelum tahun 2005.
Satu kelompok nelayan yang terdiri dari 2 – 3 orang hanya mendapatkan 100 – 150 kg per minggu dengan harga jual berkisar Rp 9.000 – Rp. 16.000 per kilogram.
Secara kasar, pendapatan nelayan lele per minggu berkisar antara Rp 300.000 – Rp. 800.000 per orang.
Warga desa tersebut juga menegaskan bahwa sejak areal hutan gambut berkurang, ukuran ikan lele yang mereka temui semakin kecil.
Kini, sangat jarang orang bisa mendapatkan ikan lele berukuran besar seperti dulu. (*)