Bencana alam menyebabkan keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Deforestasi dan Perubahan Iklim, Ancaman Nyata bagi Pembangunan Aceh

Isu deforestasi, kerusakan alam, dan dampak perubahan iklim belum jamak didiskusikan di ruang publik di Provinsi Aceh. Padahal, kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata bagi pembangunan.

Data terbaru yang dikeluarkan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, pada 2017-2021, Provinsi Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 71.552 hektar (ha) atau lebih luas dari DKI Jakarta yang luasnya hanya 66.150 ha. Deforestasi itu tersebar di 19 kabupaten/kota di provinsi itu.

Anggota staf Komunikasi HAkA, Irham Hudaya Yunardi, dalam diskusi publik ”Mencegah Deforestasi dan Kerusakan Lingkungan dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim di Aceh”, Kamis (29/12/2022), mengatakan, deforestasi yang paling banyak terjadi di hulu telah menimbulkan bencana di hilir.

Sepanjang lima tahun itu, lima kabupaten dengan deforestasi tertinggi adalah Aceh Tengah dengan luas 8.546 ha, Aceh Utara (8.258 ha), Aceh Timur (7.133 ha), Gayo Lues (5.203), dan Aceh Selatan (4.610 ha).

”Belakangan memang ada tren penurunan deforestasi, tetapi luas yang hilang tetap besar,” kata Irham dalam diskusi publik yang digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) itu. Isu deforestasi dan perubahan iklim jarang didiskusikan di Aceh.

HAkA merekam kondisi laju penurunan tutupan hutan Aceh menggunakan citra satelit Planet Scope, Sentinel 2, dan Landsat. Hasil pengamatan melalui satelit kemudian diverifikasi faktual di lapangan.

Deforestasi terjadi karena pembalakan liar, alih fungsi lahan untuk perkebunan, pembangunan infrastruktur, dan tambang ilegal.

Tahun 1985 luas tutupan hutan Aceh mencapai 4,1 juta hektar atau 72 persen dari luas wilayah, tetapi pada 2022 tinggal 2,9 juta hektar. Jika dalam 37 tahun Aceh kehilangan 1,2 juta hektar, 75 tahun lagi Aceh kehilangan semua tutupan hutan.

Sejauh ini kerusakan hutan belum bisa dibendung. Bahkan, pada tahun 2022, deforestasi masih saja terjadi. Tahun 2022, Aceh Selatan menjadi penyumbang deforestasi terbesar, yakni 1.704 ha.

Sesuai hukum alam, deforestasi memicu bencana, terutama banjir bandang karena daya serap air tanah melemah. Saat pohon ditebang, akar-akar pohon yang mengikat air hujan hilang. Daun yang gugur menjadi makanan bagi mikroorganisme yang tinggal di dalam tanah juga lenyap. Padahal, secara alami mikroorganisme akan membentuk lubang-lubang kecil sebagai resapan air ke dalam tanah.

Saat mikroorganisme mati, daya serap air tanah berkurang. Air hujan yang seharusnya disimpan terlebih dahulu di dalam tanah kini langsung mengalir ke dataran rendah atau sungai.

Sungai yang tak mampu menampung penambahan debit air kemudian meluap. Air luapan menggenangi permukiman, jalan raya, hingga lahan pertanian. Daerah pesisir yang rendah seperti Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara pun selalu menjadi sasaran banjir.

Irham mengaitkan kerusakan hutan di Gayo Lues dan Aceh Timur telah memicu bencana di Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Sebagai contoh, pada November 2022, Aceh Tamiang dilanda banjir selama dua pekan. Sementara pada Januari dan Oktober 2022, Aceh Utara dilanda banjir parah.

Embung di Desa Lambadeuk, Kecamatan Peukan Badan, Kabupaten Aceh Besar, mengalami penurunan debit air. Sebagian area genangan kini mengalami kekeringan seperti terlihat pada Sabtu (18/1/2020). Akibatnya, warga mengalami krisis air bersih dan air untuk mengaliri sawah.

Merujuk data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh, satu dekade terakhir bencana hidrometeorologi berupa banjir luapan, bandang, dan longsor mendominasi bencana di Aceh.

Tercatat pada 2018 terjadi 127 kali bencana, pada 2019 sebanyak 126 kali, dan 2020 sebanyak 170 kali. Nilai kerugian bencana hidrometeorologi itu pada 2018 mencapai Rp 655,8 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 69,4 miliar, dan 2020 sebesar Rp 157,9 miliar.

Selama tiga tahun bencana alam di Aceh telah menelan kerugian Rp 893,1 miliar atau setara dengan 9.400 unit rumah layak huni tipe 36.

Leave a comment