Hari ini aku ingin bicara hutan. Hutan Aceh yang eksistensinya terancam tangan-tangan jahil manusia.

Akan mengerikan untuk membicarakan fakta dan data akurat bagaimana hutan di negeri ini diberangus.

Sudah lama kita dengar selentingan kabar luas hutan Aceh menyusut dua kali ukuran lapangan bola setiap harinya.

Kita sebutkan saja tentang sumber dari beberapa website terkait Taman Nasional Gunung Leuser yang mengabarkan, Lebih dari 80.000 hektar hutan primer di Leuser telah ditebang antara tahun 2008 dan 2013 dan hingga sekarang mencapai 110.000 hektar – yang berarti hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi seluas hampir dua kali negara Singapura hilang.

Siapa yang merambah kawasan tersebut. Warga yang membuka ladang saja mungkin bisa termaafkan.

Tapi ketika korporasi yang berkolaborasi, tentu akan lain ceritanya.

Dari dalam gedung bertingkat, kursi yang empuk, dan ruangan yang dingin, mereka memetakan seluruh aset hasil alam kita untuk kemudian digeruduk. Jengis Khan, kalau masih hidup, bakalan keder ngeliat kelakuan manusia yang punya kuasa di zaman ini.

Terancam punah bukanlah omongan tak berdasar, TNGL dan segenap kekayaan hutan Aceh lainnya akan jadi cerita usang bagi generasi yang akan datang.

Untuk sekarang saja kita telah sibuk dengan efek dari deforestasi ini. Banjir bandang dan konflik satwa dan manusia adalah “bonus” yang kita dapatkan untuk saat ini.

Kedepannya, tak terlintas di pikiran dan benakku akan apa yang terjadi nantinya. Aku hanya berharap yang telah terjadi sekarang tidak lagi bertambah menjadi-jadi.

Tapi bisakah kita menghentikan kekuatan para pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa lokal. Sulit, tapi bukan berarti kita harus berhenti untuk bersuara melawan keganasan mereka.

Selama para tauke kebun sawit sialan itu terus mengincar inci demi inci hutan Aceh untuk mereka tempati, akan dapat dipastikan bahwa kesinambungan kehancuran hutan Aceh akan terus berlanjut.

Selama para penguasa lokal rela melacurkan tanoh keuneubah indatu ini kepada Asing dan Aseng, selama itu pula kita harus tetap menanamkan kesadaran bahwa harus ada yang melawan untuk kesewenangan yang semacam ini.

Kenapa? Karena kita, masyarakat yang hidup di bumoe Aceh inilah yang akan merasakan nestapanya.

Mereka yang mengeruk keuntungan tidur nyenyak berselimut perawan jelita, sementara kita yang berkasur kapas buluk megap-megap diterjang air bah di tengah malam buta.

Masih fresh bukan berita banjir yang terjadi baru-baru ini di Aceh. Mau hal yang semacam ini terus berlanjut? Aku sih ogah, kalian piye?

Bisa dibayangkan betapa bangke sekali keadaan yang semacam ini. Aku jujur kehilangan kata-kata yang bagus untuk menggambarkan pembiaran terhadap upaya perusakan hutan dan lingkungan sosialnya.

Kita sudah terlalu asik dengan pragmatisme kehidupan. Asal dapur ngebul, makan gembul, pikiran melantur sampai lupa memberikan pemahaman kepada generasi zaman now yang kadung acakadul pemikirannya.

Pemahaman bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dan berdaulat, tidak tunduk pada prilaku bejat para punggawa korporat dan para kaplatnya.

Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa mereka adalah benteng terakhir dari negara yang penguasanya hidup damai dalam kesesatan yang nyata. Fira’un juga gak gitu gitu amat kayaknya. (*)

Share.

Comments are closed.