Setelah wacana penundaan Pemilu dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode urung terlaksana,
Belakangan muncul pula wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun yang berhembus agak sedikit kencang.
Alasan yang mengemuka kenapa wacana ini menggema.
Argumen itu diperkuat oleh masa jabatan yang berlaku sekarang hanya enam tahun dan dirasa tidak cukup untuk membangun dan melaksanakan pembangunan di desa dengan segala dinamikanya pasca-kontestasi pemilihan kepala desa yang membuat tensi politik di desa menghangat.
Selain itu, permintaan perpanjangan masa jabatan ini bukan lagi hanya sekedar wacana yang dilemparkan karena gabut semata,
Wacana ini terkesan serius digaungkan karena pada Selasa 17 Januari 2023, Pimpinan Pusat Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) menggelar aksi di depan gedung DPR RI.
Mereka meminta pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Desa dan meminta jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dan bisa menjabat hingga tiga periode.
Tentu saja, semenjak wacana ini dilemparkan di tengah-tengah publik menuai berbagai tanggapan.
Ada kelompok yang pro dan ada juga kelompok yang kontra.
Akan tetapi dalam kesempatan ini penulis belum ingin masuk terlalu dalam dalam perdebatan dan diskursus pro kontra, sebelum ada jawaban kongkrit terhadap satu pertanyaan yang penulis anggap sangat mendasar.
Oleh sebab itu penulis ingin menggali lebih dalam dari sisi yang berbeda dengan satu pertanyaan terlebih dahulu.
Bila memang revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diakomodir dan setujui oleh Pemerintah, tapi dengan ketentuan desa dan kepala desa tidak lagi memiliki alokasi anggaran dana desa atau wewenang untuk mengelola dana desa seperti sekarang ditarik ke kecamatan.
Apakah keinginan untuk memperpanjang masa jabatan masih menjadi satu keinginan yang tidak bisa ditawar.
Bila jawabannya masih, maka barang tentu aspirasi dari kepala desa ini masih bisa di diskusikan ulang dan mungkin berpotensi mendapat dukungan dari banyak pihak.
Karena memang didasari dari niat pengabdian untuk membangun desa menjadi lebih baik, akan tetapi jika jawabannya tidak. Wacana dan perdebatan ini sudah bisa dihentikan dan dianggap selesai.
Karena berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari tahun 2015-2021 ada 592 kasus korupsi yang menjerat aparatur desa dengan nilai kerugian Negara sebesar 433,8 miliar.
Hal ini tentu saja menjadi salah satu alasan paling kuat kenapa wacana ini harus ditolak.
Disamping perpanjangan masa jabatan kepala desa hanya akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan dapat menyuburkan oligarki di desa.
Kemudian perpanjangan masa jabatan ini juga tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan pembatasan kekuasaan di kepemimpinan eksekutif, dan berpotensi menjadi preseden buruk yang akan menjadi pemicu wacana perpanjangan masa jabatan berbagai jenis kekuasaan lainnya.
Karena relevansi kekuasaan laksana candu sepertinya masih sangat kentara berlaku. (*)