INFOLEUSER.COM — Kayu Gaharu atau Candana merupakan kayu yang sangat familiar di tanah air. Selain kesukaan presiden ke 2 Indonesia, Suharto.
Konon, berdasarkan sejarahnya nama yang disematkan sebagai nama jalan di kediamanya terinpirasi dari kayu cendana yang banyak tumbuh di indonesia.
Pun demikian kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi tersebut salah satu rempah-rempah yang dihasilkan dari Hutan Leuser.
Gaharu yang banyak tumbuh subur secara liar di hutan yang berciri zona tropika yang ditumbuhi hutan lebat.
Dan itu salah satu ciri Kawasan Ekosistem Leuser.
Tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi tersebut dalam sebutan lokal di sebut kayu alim atau gaharu (Aquila malaccensis) dan candana (santalum album l).
Di Kawasan Ekosistem Leuser, ada berapa yang di jadikan lokasi untuk berburu kayu tersebut, sebut saja kawasan Goh Lemu, Kappi zona inti Taman Nasional Gunung leuser (TNGL), Pegunungan Tongra, Bur Mendere, Sangka Pane, Bur Masjid dan Bubung Lime.
Hal itu disampaikan salah satu masyarakat Pining Gayo Lues, Sabri 45 (tahun) yang sering berburu kayu tersebut belum lama ini kepada infoleuser.com.
Kayu yang memiliki ciri khas wangi tersebut menurut Sabri, keberadaannya mulai langka di Hutan Leuser.
Ia menduga salah salah satu penyebabnya, sebelum terjadi krisis moneter melanda tanah air medio tahun 1996 banyak pemburu kayu Gaharu datang dari luar daerah berburu dan melakukan eksplorasi besar besaran di Hutan Leuser.
Seperti yang dikisahkan Sabri, saat pertama masyarakat adat mengenal cendana ketika ada pendatang dari luar daerah datang mencari kayu di Hutan Leuser melibatkan masyarakat lokal.
Mereka mencari kayu tersebut di hutan hingga berbulan bulan dalam jumlah yang banyak.” sebutnya.
Cara mencari kayu berbeda dengan masyarakat lokal jelasnya, kalau masyarakat lokal melihat kayu tersebut sudah besar lalu ditumbangi pohonnya dan diambil keraknya.
Namun, pendatang ketika kelihat anakan dan tunas pohon gaharu tersebut langsung menggali tanah (lamut) mencari akarnya.
Ditambahkan, kesadaran para pemburu kayu tersebut kurang, ketika jumpa langsung menumbangi padahal belum tentu berisi.
Sedangkan kayunya pasti mati sembari mengibaratkan butuh puluh tahun kayu tersebut menjadi besar sementara proses peremajaan dalam hutan tak ada sama sekali pungkas sabri.

Disamping itu, masyarakat lokal menyakini kayu gaharu yang hidup di dalam hutan secata liar, berbau mistik.
Masyakat lokal lebih mengenal kayu alim untuk sebutan kayu gaharu tersebut.
Mereka menyakini dan sesuai dengan namanya kayu alim, para pemburu kayu alim ketika berburu kayu tersebut harus meluruskan niatnya terlebih dahulu.
Artinya tujuannya untuk mengais rejeki tersebut dan hasilnya di peruntukan untuk beribadah bukan untuk poya poya dan maksiat.
Namun jika tujuan awal meleset dan banyak dari pemburu berujung kegagalan. Kendati rejeki telah di atur oleh sang Khlaik dengan jalan yang berbeda setiap orangnya. (*)