Di masa lalu, konflik separatis GAM mencegah perusahaan perkebunan dan pertambangan masuk ke kawasan ekosistem Leuser. Namun sejak perjanjian damai 2005, pembangunan memberi tekanan besar pada hutan dengan ekosistem yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati ini.
Leuser
Di Aceh Selatan kami bertemu dengan Lahmudin, seorang petani sawit dan jagung yang sedang mengumpulkan buah sawit untuk dijual ke perusahaan sawit.
“Ladang ini tadinya hutan,” kata pria paruh baya itu, sambil menunjuk lahannya yang dikelilingi oleh perbukitan yang tertutup pohon.
Dia mengatakan bahwa sekitar satu dekade yang lalu, penebangan hutan besar-besaran terjadi di sini karena warga membutuhkan uang sehingga mereka mengubah lahan itu menjadi kebun kelapa sawit.
“Hanya itu yang bisa dilakukan penduduk setempat.”
Daerah yang ditanami oleh Lahmudin dan penduduk desa lainnya adalah bagian dari ekosistem Leuser, hamparan hutan hujan seluas 2,6 juta hektar yang menjadi tempat terakhir di planet ini di mana gajah, harimau, badak, dan orang utan Sumatera berkeliaran di satu tempat.
Konflik manusia dan satwa
Lebih dari 80.000 hektar hutan primer di Leuser telah ditebang antara tahun 2008 dan 2013 dan hingga sekarang mencapai 110.000 hektar – yang berarti hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi seluas hampir dua kali negara Singapura hilang.
Akibatnya, habitat satwa liar yang berharga di Leuser menyempit, dan semakin banyak hewan yang tersesat ke lahan perkebunan atau tempat tinggal warga.
Terkadang, masyarakat setempat menemukan solusi inovatif sehingga mereka dapat hidup berdampingan dengan satwa liar.
Di Kabupaten Bener Meriah di Aceh yang berbatasan dengan kawasan ekosistem Leuser, kawanan gajah kerap menginjak-injak tanaman di ladang warga.
Namun penduduk setempat telah menemukan cara untuk menghentikannya: menanam serai wangi.
Gajah tidak makan serai wangi dan tanaman ini laku untuk diekspor. Serai wangi biasa diolah untuk pewangi dan obat-obatan.
Yusuf, seorang asisten mahout (pawang) yang bertugas menjauhkan gajah dari manusia – dan manusia dari gajah – menjelaskan bahwa penduduk setempat sangat peduli dengan gajah.
“Jangan gajah rusak tanaman, masyarakat pun harus hidup,” katanya. Namun tak semua orang dapat menemukan solusi seperti ini.
Di Singkil, di selatan Bener Meriah, dimana sebagian besar lahan telah beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, satu orang utan ditemukan terperangkap dalam sebuah rumpun kecil kelapa sawit di sebuah ladang warga.
Ladang itu dan yang lainnya telah membuat habitat orang utan terfragmentasi sehingga membatasi persediaan makanan orang utan.
Setelah aksi penyelamatan yang dramatis, orang utan berusia 15 tahun itu ditemukan terluka akibat tembakan senapan angin.
Krisna, seorang petugas penyelamat orangutan di OIC (Orangutan Information Centre), mengatakan bahwa orang utan berkeliaran di kebun petani dan merusak hasil panen mereka berupa pinang, kelapa dan kelapa sawit.
“Masyarakat merasa orang utan itu adalah sebuah masalah,” katanya.
Pemburuan dan pemeliharaan satwa liar
Terkadang bayi orang utan yang ditemukan di ladang warga menjadi sasaran pemburu karena dapat dijadikan hewan peliharaan.
Namun bayi orang utan pada akhirnya akan tumbuh dewasa dan bisa jadi menakutkan – kekuatan mereka akan menyamai enam manusia dewasa. Makanan mereka mencapai empat kilogram sayur dan buah setiap hari.
Pada titik ini menjadi terlalu berat untuk menjaga mereka dan banyak pemelihara yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka.
Sri Lia adalah salah satu pemelihara yang memutuskan untuk melepaskan “anak angkatnya”. Sambil menahan isak tangisnya, dia menyerahkan Bom bom, peliharaannya selama tiga tahun ke OIC.
“Dia semakin besar jadi kita tak tahu kebutuhannya. Saya bilang ke suami laporkan saja,” kata Sri, yang memelihara bayi orang utan itu di dalam kandang hampir sepanjang waktu.
“Sangat kesal karena mereka (pemelihara) selalu beralasan cinta sama orang utan, sebenarnya apa yang kami lakukan adalah bentuk kecintaan kepada orang utan. Cinta tidak harus memiliki,” kata Krisna.
Memelihara orang utan atau satwa liar yang dilindungi melanggar hukum di Indonesia. Namun belum ada satu pun pemelihara yang telah diproses hukum.
“Dari pengalaman kami, setelah lebih dari lima tahun menangani kasus-kasus penyitaan orang utan, kebanyakan orang yang memelihara orang utan ini adalah orang yang berpendidikan tinggi, punya jabatan, aparat penegak hukum, oknum pegawai pemerintah,” ujar Panut Hadisiswoyo, Ketua OIC.
Namun pemerintah menyangkal hal itu. “Saya belum menerima laporan tentang itu,” jawab Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sambil menambahkan “banyak sekali staf kita menangkap orang utan peliharaan. Dan itu kalau dititipkan di tempat rehabilitasi biayanya mahal.”
Badan amal konservasi seperti Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatra Utara yang harus melakukannya dan menanggung biayanya.
Bom Bom adalah pasien terbaru mereka.
Ian Singleton, Direktur SOCP, mengatakan setiap tahun Indonesia kehilangan antara 100 dan 200 orang utan akibat konflik. “Jalanan adalah masalah utama,” katanya.
Jalanan membuat habitat terfragmentasi dan membuka akses hutan ke perkebunan dan pertambangan.
Bendungan Tampur dan kepunahan gajah
Salah satu contohnya adalah Desa Lesten di jantung Leuser. Desa ini begitu terpencil — berjarak 12 jam dengan mengendarai mobil dari Banda Aceh. Desa ini baru mendapatkan jalan beraspal tahun lalu.
Sepanjang perjalanan kami melewati desa ini, kami melihat banyak bidang hutan lebat yang ditebangi – pemandangan yang sangat pedih untuk disaksikan.
Sekarang setelah ke-75 warga desa itu mendapatkan jalanan beraspal, mereka harus memutuskan apakah mereka akan pindah dari desa mereka untuk membuka jalan bagi pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga air di sana.
Mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik oleh perusahaan yang akan membangun bendungan itu, PT Kamirzu. “Kami akan dibuatkan fasilitas seperti rumah tipe 45, kantor desa, masjid, TK, SD, SMP, SMA, juga puskesmas,” papar Saturudin, sekretaris desa itu.
Dia mengatakan jika perusahaan itu menepati janjinya, maka besar kemungkinan mereka akan setuju untuk pindah yang akan memberikan lampu hijau pagi pembangunan proyek itu.
Bendungan itu akan memutus jalur migrasi gajah Sumatra – satu-satunya spesies gajah di dunia yang terancam punah.
“Populasinya akan terpecah dan perlahan-lahan gajah Sumatra akan punah,” ungkap Farwiza Farhan dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Menurut Ian Singleton, tak mungkin untuk menahan laju penurunan satwa liar di Leuser saat ini.
“Tujuannya adalah memperlambat sebisa mungkin, sehingga saat Indonesia lebih baik mengatur dan menjaga hutan yang tersisa, masih ada orang utan dan spesies lain yang tersisa.”