ACEHNESIA.COM – Kota Lhoksukon yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Utara kerap mengalami bencana ekologi.
Kota pesisir ini dihuni 51.974 jiwa penduduk.
Sejak dijadikan ibu kota Kabupaten Aceh Utara, kota ini terus dibangun.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, kota ini kerap dilanda banjir.
Sungai Keureuto, Sungai Peutoe dan Sungai Pirak sering meluap hingga menyebabkan air membanjiri kota ini.
Terbaru pada Januari 2023, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Utara mencatat sebanyak kecamatan dan 2.311 warga terpaksa mengungsi akibat banjir.
Dari delapan kecamatan tersebut banjir tertinggi terjadi di Kecamatan Langkahan.
Ketinggian air di wilayah tersebut mencapai tiga meter. Banjir terjadi akibat jebolnya tanggul sungai Krueng Arakundo.
Sejak beberapa tahun terakhir, frekuensi banjir terjadi sampai 5 kali dalam setahun.
Kota ini memang terkenal dengan langganan banjir.
Dulunya banjir menerjang Aceh Utara setiap lima atau tiga tahun sekali namun belakangan ini , banjir bisa terjadi dalam setahun tiga sampai lima kali.
Di tahun 2021 banjir sempat melanda Aceh Utara sampai 4 kali, berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Utara.
Kecamatan yang menjadi langganan banjir yaitu Kecamatan Matang Kuli, Pirak Timu, Lhoksukon, Tanah Luas dan Cot Girek.
Di mana Kecamatan- kecamatan tersebut dilalui di dekat Krueng Peutoe dan Krueng Keureuto yang hulunya di Bener Meriah.
Faktor utama yang bisa di katakan terjadinya banjir juga karena banyaknya terjadi penggundulan hutan-hutan di pedalaman Aceh Utara, di mana lahan- lahan resapan air dialihfungsikan menjadi kebun sawit, serta perambahan hutan yang besar-besaran, tanpa ada penegakan hukum.
Aceh Utara sendiri , di hulu tidak ada lagi sekmen-sekmen area dan juga tidak ada lagi cikungan -cikungan air yang bisa bertahan sehingga semua air langsung ke sungai, hingga terjadi luapan dan menyebabkan banjir.
Dari struktur Aceh Utara sendiri sifat nya tidak ada pegunungan, maka sebenarnya wilayah Aceh Utara itu harus dibuat semacam kawasan-kawasan cikungan atau daerah sekmen area daerah tangkapan air yang memang harus di jaga dan tidak boleh diberikan hak untuk HGU perkebunan sawit.
Di daerah Kecamatan Pirak Timu dimana disitu yang pertama secara struktur lahan memang cukup mudah untuk banjir namun belum ada upaya bagaimana struktur lahan tersebut untuk di buat skema agar air -air tersebut masuk kedalam waduk-waduk ,ke dalam cikungan-cikungan sehingga tidak semua tumpah ke sungai sehingga tidak meluap.
Kondisi Itu ada di kawasan Pirak Timu, Matang Kuli sana itu tidak ada lagi kawasan hutannya karena sudah berubah semuanya menjadi sawit , terutama memang di jalan menuju makam Cut Nyak Mutia.
Di kawasan itu juga setiap harinya hutannya di babat terus, padahal kawasan itu merupakan kawasan lindung juga, dan dapat dilihat juga kerusakan hutan di Aceh Utara terus menerus terjadi dari jumlah konflik satwa yang terjadi hampir setiap tahun.
Selain itu juga berdasarkan data dari Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP), yang dapatkan di lapangan banyak sudah hutan-hutan produksi , hutan produktif di Aceh Utara dijadikan perkebunan sawit.
Padahal Bupati Aceh Utara sendiri sudah pernah melakukan penandatanganan Moratorium sawit beberapa tahun lalu.
Namun itu hanya menjadi sebuah kegiatan formalitas semata tapi di lapangan Izin untuk perusahaan-perusahaan terus diberikan untuk dialihfungsi kawasan hutan. (*)