Sesudah perjuangan hukum yang menghentikan perluasan sawit di Rawa Tripa dimenangkan para aktifis lingkungan, tantangan berikut yang dihadapi adalah persoalan pengelolaan kawasan lindung gambut di wilayah tersebut.
Bila tidak diperhatikan dengan serius, kawasan penyimpan cadangan karbon dunia ini dapat mengganggu keseimbangan alam maupun kehidupan manusia yang terdampak dengan keberadaannya. TFCA-Sumatera, suatu program kerjasama kehutanan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat, mendorong wacana pentingnya pengelolaan kawasan Rawa Tripa bagi masyarakat secara lokal, regional maupun global.
Matthew G. Nowak, Direktur Monitoring Biodiversitas Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengatakan bahwa kehadiran badan yang mengelola kawasan Rawa Tripa sangat penting. Selepas BPKEL, tidak ada lagi yang mengelola. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membangun pengelola rawa Tripa dan bekerjasama dengan masyarakat.
Nowak melanjutkan, saat ini kerusakan Tripa cukup masif, namun demikian terbukti masih menyimpan cadangan karbon yang relatif besar. Dari penelitian YEL yang didukung oleh TFCA-Sumatera ditemukan bahwa dari tahun ke tahun gambut Tripa semakin terdegradasi. Dari awalnya 61 ribu ha sekarang tinggal 9 ribu ha.
Catatan dari hasil survei menyebutkan ada 53.114 ha (71%) lahan gambut berkedalaman lebih dari 50 cm dan 20.791 ha (28%) berkedalaman 300 cm dan sisanya ada yang mencapai kedalaman 5 meter. Pengurangan tutupan gambut ini disebabkan karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan perambahan hutan. Padahal lahan gambut penting untuk mengurangi pemanasan global”
Hal senada juga disampaikan oleh Cut Erlianda, mewakili masyarakat lokal. Ia mengungkapkan keprihatinannya akan masa depan Rawa Tripa. Ia mengatakan bahwa saat ini dari 1600 ha lahan yang dilepaskan kini secara perlahan sudah mulai ada tanda-tanda ditanami sawit kembali. Masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Untuk itu ia meminta perhatian agar rawa Tripa dijaga kelestariannya karena banyak memberikan manfaat untuk masyarakat.
Pembukaan lahan dan konversi kebun sawit memang menjadi ancaman utama ekosistem penting di barat Aceh ini. Sejak 1980-an kawasan yang berstatus areal penggunaan lain (APL) ini telah tersentuh perusahaan sawit. Sampai sekarang banyak okupansi pemegang HGU (Hak Guna Usaha) di dalamnya. Pembukaan kanal-kanal di dalam gambut pun juga masih banyak.
Pengeringan rawa dengan membobol tanggul yang ada membuat gambut kering. Keadaan ini membuat gas rumah kaca (GRK) terlepas ke udara dan konsentrasi GRK yang tinggi membuat bolong lapisan ozon yang melindungi. Akibatnya bumi menjadi semakin panas, tidak ada lagi lapis penahan radiasi matahari.
“Ekspansi perkebunan sawit di Tripa menyebabkan 3 hal penting. Pertama timbulnya konflik manusia-satwa, kedua keanekaragaman hayati terancam punah, dan ketiga bagi masyarakat lokal sendiri menyebabkan bencana banjir ketika musim hujan serta kekeringan ketika musim kemarau. Banjir hari ini di Tripa setahun bisa mencapai 3 kali” tandas Dr. Ir. Agussabti, M.Si, Dekan Fakultas Kehutanan Unsyiah.
Jika menilik lebih dalam, kawasan ini merupakan ekosistem penting. Manfaat paling kentara adalah saat tsunami 2004, Tripa membentengi pesisir barat Aceh dari hantaman gelombang besar. Kawasan Tripa juga menjadi habitat bagi Beruang Madu, Harimau Sumatera, Buaya Muara dan burung Rangkong. Khusus untuk orangutan, areal ini bersama Kluet dan Singkil memilki kepadatan populasi tertinggi di dunia.
Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga. Ekosistem ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Ikan limbek yang merupakan kegemaran orang Aceh Barat Daya berasal dari kawasan ini. “Jangan sampai kita mengatakan bahwa dulu pernah ada Ikan Limbek yang enak rasanya” ujar T.M Zul dari YEL yang menjadi moderator diskusi.
Gubernur Aceh mendatangkan diharapkan dapat meneruskan komitmennya untuk perlindungan Tripa. Rekam jejak sebelumnya yang memperhatikan pengelolaan lingkungan menimbulkan optimisme akan masa depan pengelolaan Tripa.
Dalam acara diskusi pengelolaan Rawa Tripa yang berlangsung di Aula Pertanian Unsyiah itu diluncurkan pula buku terbitan TFCA-Sumatera yang berjudul “Rawa Tarung, Pertaruhan di Rawa Gambut Tripa”. Dengan tutur yang mengalir, masyarakat diajak untuk lebih memahami soal isu Tripa dan persoalan pengelolaan dimasa depan.
“Kawasan penting secara ekologi selalu dalam persimpangan antara kepentingan konservasi dan perkembangan ekonomi. Jalan tengahnya adalah pembangunan berkelanjutan” ungkap Agus Prijono, penulis buku.
Sebagai Dewan Pengarah (Oversight Committee) TFCA-Sumatera, Prof. Darusman Rusin mengharapkan pelajaran pengelolaan Rawa Tripa yang disampaikan dalam buku tersebut dapat menjadi sumbangsih TFCA-Sumatera dalam pengelolaan kawasan konservasi. “Ada dua hal yang ingn disampaikan melalui buku ini yaitu pesan tentang pengelolaan yang berkelanjutan serta perlunya penguatan institusi lokal yang memiliki kemampuan setara dengan lembaga-lembaga konservasi nasional” ujarnya.
Rawa Tripa Saat Ini
Pada 1998, Tripa sebenarnya termaktub dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Artinya Tripa masuk dalam wilayah yang dicadangkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sayangnya, kepres ini tidak dilanjutkan dengan qanun (aturan daerah) Provinsi Aceh. Ikhwal KEL tidak masuk dalam qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Baru pada tahun 2017 peninjauan nomenklatur KEL dalam qanun akan dibahas kembali.
Pemerintah Aceh menetapkan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa pada bekas lahan PT. Kalista Alam akhir tahun 2013. Tahun 2016 mahkamah agung menolak kasasi Kalista. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh. Vonis pertama dan terbesar sepanjang sejarah kasus pembakaran lahan dan hutan. Saat ini, hak hasil panen sawit yang telah ditanam Kalista diberikan kepada koperasi masyarakat.
Setelah rawa gambut tersisa tidak masuk dalam intervensi Badan Restorasi Gambut. Kemudian pada akhir Februari lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencoba mendorong Tripa sebagai kawasan ekosistem esensial untuk fungsi perlindungan kawasan. Rencana ini terus dikaji dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan stakeholder yang lain. Melalui upaya-upaya ini, harapannya Rawa Tripa dapat terlindungi demi kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. (Yudha Arif Nugroho)