Banda Aceh — Direktur Eksekutif LSM Flower Aceh, Riswati, mengatakan pelaksanaan pemilu secara inklusif telah diakui oleh dunia internasional bahwa setiap individu memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap kedua hak tersebut tanpa pengecualian.

Dalam konstitusi di Indonesia, pemilu inklusif ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, amandemen III pasal 22 E ayat 1 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Perempuan asal Aceh Tamiang yang akrab disapa Riris ini mengatakan, bicara pemilu inklusif maka harus memenuhi lima syarat utama. Pertama, hak pilih universal; termasuk orang di bawah perwalian. Kedua, tidak ada syarat medis atau bahasa bagi calon maupun pemilih. Ketiga, TPS yang aksesibilitas permanen bagi difabel. Keempat, hak memilih yang rahasia, jika dibutuhkan, diwakili oleh orang yang terpercaya. Kelima, penyediaan akomodasi yang wajar, seperti panduan surat suara taktis.

“Pemilu bersifat terbuka dan siapa pun bisa terlibat dan berpartisipasi. Negara harus memberikan kesempatan bagi seluruh warganya. Catatan kritis kenapa Flower Aceh concern di bidang ini karena saat pemilu, para minoritas dan kelompok marjinal lebih sebagai objek saat pemilu, bukan sebagai subjek,” katanya dalam diskusi publik bertema Warga Berdaya Pelopor Pemilu Jujur dan Adil, Selasa, 24 Januari 2023.

Adapun kelompok marginal yang hak pilihnya sering tidak terpenuhi, di antaranya perempuan, difabel, lansia, pasien yang sedang dirawat di RS, maupun para narapidana.

Riris juga mengkritisi bahwa meskipun secara teknis penyelenggaraan pemilu tidak membeda-bedakan setiap kelompok masyarakat, tetapi dalam praktiknya masih banyak diskriminasi, pemahaman masyarakat perlu didorong agar memahami hal. Salah satunya perspektif bahwa perempuan tidak boleh jadi pemimpin dan menilai tindakan tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Kondisi ini banyak merugikan perempuan yang ikut langsung dalam pemilu.

Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui Koordinator Jurnalis Warga (KJW) Banda Aceh. Diskusi ini bekerja sama dengan LSM Flower Aceh dan berlangsung di kantor Flower pada Selasa, 24 Januari 2023.

Diskusi publik ini diikuti sebelas peserta dari beragam latar belakang dan organisasi, seperti ibu rumah tangga, pengajar di sekolah luar biasa, dosen, jurnalis, perwakilan komunitas, pegiat LSM, aktivis sosial, hingga perwakilan masyarakat Tionghoa di Banda Aceh.

Adapun narasumber yang dihadirkan, yaitu komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Tgk. Akmal Abzal, dan Direktur Eksekutif LSM Flower Aceh, Riswati. Akmal Abzal menyampaikan informasi terkait tahapan terkini penyelenggaraan pemilu di Aceh yang sudah memasuki tahap pengumuman hasil verifikasi bakal calon anggota DPD RI. Sementara Riswati menyampaikan tentang pentingnya pemilu inklusi yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Salah satu peserta, Sudarliadi, staf Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dan juga aktivis pemuda Muhammadiyah Aceh mangatakan, akses bagi disabilitas masih menjadi persoalan utama yang perlu diperhatikan penyelenggara pemilu di Aceh.

Ia juga menyoroti tingginya partisipasi masyarakat pemilu apakah murni karena kesadaran masyarakat atau justru karena tingginya praktik politik uang. Hal ini menurutnya memang memerlukan penelitian akademis sehingga tidak hanya berdasarkan asumsi semata.

“Politik uang ini terkesan sudah biasa di masyarakat. Bahkan ada calon-calon peserta pemilu yang merasa tidak enak kalau tidak memberi uang kepada calon pemilihnya,” ujar Sudarliadi.

Menanggapi hal tersebut, Riswati menyampaikan bahwa fenomena mengambil uang dari para kontestan pemilu, tetapi tidak memilih mereka di hari H tidak dapat dibenarkan. Kondisi ini menurutnya justru menjadi tantangan dalam mewujudkan pemilu yang inklusif dan jujur. Hal-hal semacam ini yang membuat pelaksanaan pemilu menjadi mahal dan membuat individu-individu yang punya kapasitas menjadi enggan untuk ikut karena tidak punya “modal” uang.

Riris mengajak semua pihak, terutama para penggerak di masyarakat untuk tak pernah lelah mengedukasi warga di sekitarnya dengan cara membangun kesadaran kritis mereka tentang demokrasi. Walau bagaimana pun, kolaborasi memegang peranan penting dalam mewujudkan tatanan demokrasi yang lebih baik di Indonesia, khususnya di Aceh.[]

Share.
Leave A Reply