RAWATRIPA.COM — Selain masalah alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, persoalan lain yang tak kalah pentingnya di Rawa Tripa juga terkait perebutan wilayah kelola rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Walhi Aceh mencatat, setidaknya ada dua kasus sengketa lahan warga dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum selesai sampai hari ini.
Dua kasus itu yaitu sengketa lahan warga dengan HGU PT. Dua Perkasa Lestari dan HGU PT. Surya Panen Subur (SPS2).
Dampak terbesar dari dua kasus sengketa lahan ini hilangnya wilayah kelola masyarakat di tingkat tapak.
Tidak sebatas itu, dalam upaya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat kerap mendapatkan kriminalisasi.
Pemerintah sampai hari ini belum memberikan solusi konkrit yang menguntungkan kedua pihak sebagai upaya penyelesaian konflik agraria tersebut.
Selain itu, bencana ekologi banjir sudah menjadi agenda tahunan, setidaknya terdapat 37.374,83 ha wilayah Rawa Tripa yang memiliki potensi banjir tahunan.
Padahal lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga siklus air di rawa, disamping itu lahan gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya mencegah terjadinya banjir dan kekeringan.
Pada saat lahan gambut dikonversi menjadi perkebunan untuk budidaya tanaman monokultur, akan berdampak serius terhadap hilangnya fungsi alami lahan gambut tersebut.
Lahan gambut akan mengering dan mudah terbakar.
Rawa Tripa pernah dikenal hingga dunia internasional saat kebakaran yang cukup besar terjadi di Rawa Tripa.
Kemudian dilanjutkan dengan gugatan yang diajukan oleh WALHI dan TKPRT yang mengadvokasi Tripa pada saat itu yang menghasilkan putusan PT. KALISTA ALAM sebagai tersangka pembakaran harus membayar ganti rugi pemulihan lahan.
Selain itu, perusahaan itu juga harus mengembalikan sisa bekas lahan PT. KALISTA ALAM seluas 1.605 ha kepada masyarakat. (*)