“Saya akan terus memperjuangkan kelestarian gambut Tripa, ini tanah kami, kami dilahirkan dan dibesarkan di atas tanah ini, eksistensi hutan dan tanah kami akan terus kami perjuangkan, meski kami melawan dengan suara dan teriakan.”
Ungkapan di atas merupakan ungkapan hati saya yang paling dalam.
Bagaimana tidak, bertahun-tahun saya berkutat dengan persoalan sengketa lahan dan upaya penegakan hukum demi tata kelola hutan dan lahan bisa berjalan lebih baik di daerah kami.
Desa kami kini berubah. Hawanya yang sejuk berubah panas.
Tidak ada lagi suara-suara kicauan burung sambil memetik buah tanaman hutan. Yang ada kini tanaman kebun monokultur.
Hati saya meronta, saat perlahan dan pasti perubahan tutupan hutan itu berubah menjadi konflik sosial. Kesenjangan dan ketimpangan ekonomi kian terlihat di sana.
Sejak itulah, saya mulai berpikir. Tanah dan hutan untuk siapa?
Kesadaran itulah yang kemudian membawa saya pada aksi-aksi nekat melawan ketimpangan ini.
Sejak beberapa tahun lalu saya dan sejumlah teman-teman yang peduli lingkungan di Nagan Raya mulai mendirikan Aliansi Peduli Lingkungan (APEL) Nagan Raya.
APEL kemudian menjelma menjadi lembaga yang aktif melakukan advokasi kasus kejahatan llingkungan yang ada di Nagan Raya.
Beberapa kali saya harus berhadapan dengan ruang sidang pengadilan akibat aksi kami membela lingkungan.
Saat ini kami sudah memiliki jejaring yang tersebar di Nagan, Aceh Barat, dan Abdya. Prioritas kampanye dan advokasi kami di Nagan, Abdya dan Aceh Barat.
Banyak persoalan yang masih belum mampu kami suarakan. Kami membutuhkan suara dan dukungan dari semua masyarakat Aceh, khususnya di barat selatan.
Kami sadar, upaya yang kami lakukan hanyalah secuil usaha dari anak-anak yang baru sadar kemarin akan kondisi tanah dan hutan mereka.
Kesadaran kami ini berjuang untuk lingkungan kita, juga mestinya mendapat tempat di hati seluruh masyarakat Nagan dan Abdya.
Sekali lagi, uneg-uneg dan hasrat hati yang paling dalam ini bisa menjadi cemeti bagi kita semua. Bahwa berbuat belum tentu mendapat hasil, apalagi kita hanya diam berpangku tangan.
Semua itu kami lakukan atas inisiatif sendiri.
Tadu Raya nan jauh di pelosok Nagan Raya dulu dikenal dengan lumbung ikan dari habitat rawa gambut. Tapi kampung kelahiran yang saya cintai ini kini berubah. Tidak ada lagi ikan endemik yang jadi ikon daerah kami.
Perubahan itu pun, membawa pada perubahan pandangan diri saya. Meski terlihat keras, dan besarnya teriakan yang kami lakukan.
Namun hati kami sebenarnya sangat luruh oleh pelukan hati. Hati masyarakat kami yang mendukung kami dengan hati yang ikhlas. Mari kita bersama bersuara dan melindungi habitat Rawa Tripa yang masih tersisa.
Karena gambut itu kaya kenakeragaman hayati, dan akan menjadi benteng bencana alam.
Kita tidak bisa memiliki waktu ribuan tahun untuk mengembalikan dan memulihkan Rawa Tripa. Kini saatnya kita bergerak bersama . (*)