ACEHNESIA – Pemanasan global menjadi alasan terjadinya perubahan iklim yang disebabkan oleh produksi gas rumah kaca (GRK) yang notabenenya adalah ulah manusia.
Emisi CO₂ Indonesia sampai saat ini tercatat adalah 800 juta ton atau sepersepuluh emisi CO₂ Amerika Serikat, dan emisi yang berasal dari alih guna lahan adalah 600 juta ton.
Dengan memasukkan emisi dari alih guna lahan, pada saat ini Indonesia merupakan negara pada urutan ketiga yang mengeluarkan emisi CO₂ terbanyak dengan jumlah sekitar tiga sampai empat giga ton.
Bedasarkan data yang dikumpulkan dari Jurnal ilmiah Universitas di Aceh, dan juga riset yang dilakukan Gas rumah kaca (GRK) disebabkan oleh akumulasi gas CO₂ yang berasal dari proses pemanfaatan energi dan industri secara siginifikan menyumbang pemanasan global.
Perubahan iklim adalah bersifat global, tidak terkecuali Indonesia dan Juga Aceh juga dihadapkan oleh beberapa pilihan untuk bertindak.
Untuk Strategi reduksi yang dapat dilakukan bidang pertanian dalam mengurangi laju pemanasan global dan perubahan iklim sebenarnya dapat dimaulai dari adanya kenyataan bahwa kegiatan pertanian merupakan salah satu penyumbang lepasnya GRK ke atmosfer.
Sedangkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan dalam bidang pertanian dapat mengubah kultur teknis bertani yang selama ini telah berjalan.
Fakta Bumi Semakin Panas
Gelombang panas [heatwave] sedang melanda sebagian negara di Asia, seperti India, Bangladesh, China, Jepang, Laos, Korea, Myanmar hingga Thailand.
ilmuwan iklim telah memproyeksikan cuaca ekstrem terjadi setiap 30 tahun sekali atau lebih di Asia Selatan.
Namun tak sesuai dugaan, perubahan iklim mempercepat terjadinya cuaca ekstrim di sejumlah belahan Bumi.
Gelombang panas merupakan periode cuaca panas berkepanjangan relatif yang mungkin disertai kelembaban tinggi. Gelombang panas terjadi di musim panas ketika tekanan tinggi berkembang di suatu area untuk jangka waktu lama, seperti sepekan atau lebih.
Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, kata Dwikorita, jika ditinjau karakteristik fenomena maupun indikator statistik, tidak termasuk kategori gelombang panas.
Secara karakteristik fenomena, suhu panas itu akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan siklus setiap tahun.
Gelombang panas [heatwave] sedang melanda sebagian negara di Asia, seperti India, Bangladesh, China, Jepang, Laos, Korea, Myanmar hingga Thailand. Suhu di negara-negara itu meningkat dari biasanya bahkan bisa mencapai 40 derajat Celcius.
Puncak sementara, wilayah Kumarkhali, kota di distrik Kusthia, Bangladesh menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian yang tercatat sebesar 51,2 derajat Celcius pada 17 April 2023.
Sedangkan di India, 60 persen wilayahnya telah mengalami cuaca ekstrem tersebut. Bahkan pada 16 April lalu, tercatat ada 13 orang meninggal. Gelombang panas ini salah satu dari akibat perubahan iklim.
Sebagai fenomena alam, ilmuwan iklim telah memproyeksikan cuaca ekstrem terjadi setiap 30 tahun sekali atau lebih di Asia Selatan. Namun tak sesuai dugaan, perubahan iklim mempercepat terjadinya cuaca ekstrem di sejumlah belahan Bumi.
Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] juga mengingatkan temperatur global dan intensitas gelombang panas akan meningkat pada abad ke-21 sebagai akibat dari perubahan iklim.
“Suhu udara yang tinggi dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan menyebabkan kematian,” tulisan laporan itu.
Penyebab gelombang panas
Melansir situs Met Office, gelombang panas merupakan periode cuaca panas berkepanjangan relatif yang mungkin disertai kelembaban tinggi. Gelombang panas terjadi di musim panas ketika tekanan tinggi berkembang di suatu area untuk jangka waktu lama, seperti sepekan atau lebih.
Gelombang panas adalah peristiwa cuaca ekstrem, tetapi penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim membuat peristiwa ini lebih mungkin terjadi.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] Indonesia menjelaskan, gelombang panas dapat dijelaskan secara karakteristik fenomena dan indikator statistik suhu kejadian.
“Secara karakteristik fenomena, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi Bagian Utara maupun Bumi Bagian Selatan,” kata Dwikorita melalui keterangan tertulisnya, 25 April 2023.
Gelombang panas terjadi pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental.
“Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan [subsidensi] sehingga suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.”
Secara indikator statistik suhu kejadian, gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas yang tidak biasa yang berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih [sesuai batasan Badan Meteorologi Dunia atau WMO].
Fenomena cuaca termasuk kategori gelombang panas bila suatu lokasi mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat Celcius lebih panas, dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.
Akibat perubahan iklim, suhu Bumi akan lebih panas, terjadi badai, keringan, permukaan laut meningkat, kemiskinan bertambah, kesehatan memburuk, dan kekurangan makanan melanda. Bumi akan kehilangan spesies di darat dan di laut.
“Beberapa spesies akan dapat pindah dan bertahan hidup, tetapi yang lain tidak,” jelas laporan tersebut.
Menjdi Tantangan
Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi tantangan bagi penduduk bumi, sebab itu tantangan pertama ialah perubahan iklim suhu bumi yang semakin panas serta ancaman kepunahan manusia.
Ini terjadi akibat gelombang panas bumi yang meningkat akibat perubahan iklim.
Salah satu untuk menjaga kestabilan udara dan lapisan atsmofer bumi ialah dengan merawat hutan, mengurangi penebangan liar serta peungurangan efek rumah kaca. (*)