HANYA terbang selama dua jam dari Stockholm, tidak membuat Yusuf Daud letih. Setibanya di Bandara Schiphol telah ditunggu oleh Nasir Usman yang terbang duluan dari Copenhagen menuju negeri kincir angin tersebut.

Mereka adalah wakil ketua dan anggota Presidium Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang bermukim di Swedia dan Denmark.

Mereka mendapat undangan resmi dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Republik Maluku Selatan (RMS) untuk bertemu di Den Haag pada akhir November 2019 lalu.

Sebagai tuan rumah, ULMWP dan RMS di Belanda, mereka menjamu tamunya dengan kehangatan yang luar biasa.

Bak sahabat yang lama tak berjumpa, mereka berangkulan saat berjumpa di Den Haag Centraal untuk mematangkan agenda perjumpaan keesokan harinya di konferensi pers di Nieuwspoort, bangunan kantor parlemen Belanda.

“Perjuangan itu milik kita bersama, milik bangsa Aceh, Papua dan juga  Maluku. Jangan mundur, percayalah bahwa kemerdekaan itu ada ditangan kita,” ujar Oridek AP kepala ULMWP untuk Uni Eropa memberikan semangat sambil mengepalkan tangan saat diminta komentarnya.

Sedangkan duduk di depan Oridek AP, menteri luar negeri pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di pengasingan, Umar Santi, memberikan salam serta sambutan akrab kepada delegasi ASNLF yang baru saja tiba di Den Haag.

“Saya dan atas nama bangsa Maluku beserta RMS merasa bangga berjumpa dengan pejuang Aceh yang meneruskan perjuangan Dr Tgk Hasan Tiro,” ujarnya saat direkam oleh vlogger Atakana TV.

Hari pertama merumuskan kesepakatan dasar seperti menoreh catatan sebagai korban dari dekolonisasi Belanda yang belum tuntas,

Pengakuan atas hak-hak penentuan nasib sendiri, tidak mencampuri politik internal masing-masing hingga kesepakatan diplomatis yang mendesak untuk membentuk kolaborasi di Eropa.

Tidak kalah pentingnya poin akhir tentang protes kerjasama bidang ekonomi Indonesia dengan Uni Eropa.

Draf tersebut sedianya telah dibahas sebelum pertemuan melalui komunikasi e-mail.

Namun untuk memfinalkannya diperlukan pertemuan langsung di Den Haag.

Walau ketiganya mereka mempunyai sejarah yang jarak, akan tetapi karena faktor senasib sepenanggungan, maka terbentuklah wadah untuk menggalang koalisi dan komunike bersama.

JARUM jam hampir menunjuk angka 9.  Beberapa orang berpakaian perlente turun serentak dari tram menyeberang keluar dari Den Haag Centraal. Berjarak hanya selemparan batu dari Den Haag Centraal itulah masing-masing perwakilan dari Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF),

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Republik Maluku Selatan (RMS) berjalan kaki menuju kantor Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) Belanda pada 19 November 2019 lalu.

Den Haag, adalah pusat kota pemerintahan di Belanda dan semua kantor-kantor penting berada di seputaran metropolitan yang dijuluki sebagai kota perdamaian dan keadilan internasional.

Oleh karena itu, setiap pagi jam kantor di pusat kota Den Haag selalu ramai dengan kesibukan orang-orang yang bergegas menuju kantornya.

Di ujung pintu masuk, terdapat papan tanda dalam bahasa Belanda yang artinya dilarang membidik foto atau video.

Menunggu sesaat di ruang tunggu kementrian tersebut lalu keluar sepasang bule lelaki dan perempuan Belanda menemui Yusuf Daud,

Oridek AP dan Umar Santi. Entah apa yang dibincangkan.  Namun, setelah 30 menit di akhir percakapan, terlihat masing-masing pejuang kemerdekaan itu menyerahkan sebundel dokumen yang telah dipersiapkan sebelumnya.

“Selanjutnya kita akan ke kantor perwakilan Uni Eropa disini,” ujar Oridek AP saat keluar dari Kemenlu Belanda tersebut.  Awalnya, tim kecil semula yang berjumlah delapan orang–termasuk seorang bodyguard Menteri luar negeri RMS–kini hanya diperkenankan masuk tiga orang saja ke kantor perwakilan Uni Eropa di Belanda. Mereka adalah Yusuf Daud dari ASNLF, Oridek AP mewakili ULMWP dan Umar Santi perwakilan RMS.

“Aceh, Papua dan Maluku puluhan ribu mil jaraknya dari Belanda.  Namum negara bekas penjajah ini seperti bersekongkol serta memelihara kepentingan oportunis dengan Indonesia dalam membiarkan pelanggaran demi pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan Maluku”.  Demikian salah satu komentar saat ketiga delegasi itu keluar dari kantor tersebut.

Poin ini ternyata selaras dengan isi komunike bersama yang akan mereka tanda tangani di Nieuwspoort, bangunan kantor parlemen Belanda.

Lebih lanjut isinya menjelaskan bahwa Belanda dan Uni Eropa ikut tutup mata sejak 2016 di saat pemerintah Indonesia menggesa Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Uni Eropa (FTA).

Oleh karena itu mereka menolak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diaspal dengan darah dan tulang belulang rakyat Aceh, Papua dan Maluku.

Disamping itu, kata mereka di alinea terakhir, tercantum pula tuntutan agar Uni Eropa menghormati hak untuk penentuan nasib sendiri dan juga tidak mengabaikan pelanggaran HAM sehingga tiada alasan yang mendasar bagi Uni Eropa untuk menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.

Warga Belanda sejatinya tidak asing mendengar nama Aceh,

Papua dan Malaku karena ramai warga Belanda sendiri juga punya keturunan dengan bangsa tersebut serta sejarah panjang yang berdarah-darah dengan Belanda.

Lalu, mengapa Belanda seperti Amensia? Yusuf, Oridek dan Umar tampaknya paham betul dengan karakter negeri bekas penjajah itu.

Mereka mengerti bahwa Belanda sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa sehingga tipe perjuangan mengikut modernisasi seperti lobi politik.

Maka, untuk menembus celah tembok tersebut salah satunya dengan cara elegan membuat komunike bersama Aceh, Papua dan Maluku.

Seperti dikutip Puja TV, Oridek AP yang mejabat sebagai perwakilan ULMWP di Eropa mengatakan bahwa semoga komunike ini sebagai langkah pertama dan menjadi inspirasi bagi bangsa Aceh,

Papua dan Maluku untuk sama-sama bergandeng tangan untuk mengusir penjajah Indonesia.

Begitu juga tanggapan positif dari Umar Santi mewakili pemerintah RMS di pengasingan karena komunike tersebut sebagai fundamen di internasional untuk berjuang mendukung kemerdekaan bersama.

Tambahan Yusuf Daud sebagai wakil ketua Presidium ASNLF menjelaskan bahwa langkah ini bagian dari kerja sama kedepan untuk perjuangan kemerdekaan.

TEPAT seusai makan siang, empat pria berlainan bangsa itu berjalan didepan menuju Nieuwspoort, Wandelganger I, Lange Poten 10, Den Haag.

Dibelakangnya mengekor beberapa sahabat mereka sebagai bagian tim delegasi.  Satu wajah baru didepan terlihat Sekjen UNPO Ralph Bunche di Brussels–pengacara asal Amerika Serikat–yang baru saja tiba siang itu di Den Haag.

Menurut wikipedia, Nieuwspoort adalah tempat konferensi pers politisi Belanda, terutama pidato mingguan Perdana Menteri.

Terletak didalam gedung Parlemen Belanda.  Empat vandel mini bendera Bintang Bulan, Bintang Kejora, Benang Raja serta organisasi UNPO telah disediakan oleh panitia.

Raki AP bertindak sebagai moderator konferensi pers tersebut mengatakan bahwa dalam ruangan itu bebas menyatakan aspirasi politik dan telah mengundang sejumlah politisi Belanda serta beberapa warga Maluku bersama Papua yang bermukim di negeri kincir angin itu.

Peluang terbuka bagi Yusuf Daud, Oridek AP, Umar Santi dan Ralph Bunce untuk menjelaskan aspirasi politik mereka.

Duduk menghadap audiens, diantaranya hadir beberapa politikus Belanda serta intelijen dari KBRI Den Haag, Yusuf misalnya menjelaskan bila tahun lalu seratus diaspora Aceh berkumpul di kota Den Haag ini untuk memperingati peringatan 145 tahun deklarasi perang Belanda terhadap negara Aceh yang berdaulat.

Perang melawan Aceh bagi Belanda jauh lebih besar dari sekadar konflik bersenjata.

“Perang itu berlangsung hampir seabad, salah satu perang paling berdarah dan kolonial terlama dalam sejarah manusia. Belanda tidak pernah berperang lebih besar dari perang dengan Aceh,” ucap Yusuf.

Ringkas dari konsekuensi perang itu, ketika sebagian besar kepulauan Melayu dimasukkan ke dalam Hindia Belanda, Aceh merupakan salah satu daerah yang paling sulit ditundukkan.

Setelah kapitulasi Jepang pada Agustus 1945, Belanda berusaha mengembalikan bekas kerajaan kolonial mereka, tetapi Aceh adalah satu-satunya tempat di mana mereka bahkan tidak berusaha untuk kembali.

Pada 27 Desember 1949, Belanda menandatangani perjanjian dengan Indonesia yang baru dibuat dan mengalihkan kedaulatan mereka yang tidak ada atas Aceh ke Indonesia, tanpa plebisit atau referendum.

“Itu bertentangan dengan semua aturan dan prinsip dekolonisasi PBB, seperti Resolusi PBB nomor 1514-XV.

Sehingga atas dasar pemindahan kekuasaan Aceh secara ilegal ini ke Indonesia, maka ASNLF kemudian didirikan pada tahun 1976,” ujar Yusuf Daud menjelaskan singkat.

Mengenai MoU Helsinki, warga negara Swedia tersebut juga membeberkan kejanggalan perjanjian itu yang sangat lemah dimana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu oleh militer telah menjadi semakin jauh saat Prabowo Subianto diangkat menjadi Menteri Pertahanan Indonesia.

Sehingga harus menjadi perhatian nyata bagi masyarakat internasional.

Di akhir presentasinya, Yusuf mengatakan bahwa perjuangan rakyat Aceh merupakan perjuangan politik,

Perjuangan penentuan nasib sendiri, perjuangan untuk mempertahankan orang Aceh sebagai satu bangsa, dan disebabkan oleh kolonialisme yang berabad-abad dan penindasan selama beberapa dekade.

Dalam hal ini Yusuf menyamakan juga dengan  penderitaan bangsa Aceh di Barat, Papua Barat di Timur dan Maluku Selatan di tengah-tengah berhak mendapatkan perhatian untuk menentukan nasib sendiri.

Sehingga sebagai bekas penjajah, kerajaan Belanda seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan di ketiga wilayah yang ditinggalkannya tersebut.

Kemudian berlanjut presentasi masing-masing oleh Oridek AP, Umar Santi, Ralph Bunche serta sesi tanya ke semuanya dalam bahasa Inggris.

Seusai konferensi pers itu turut memberikan komentar terpisah dalam bahasa Melayu seorang delegasi ASNLF lain yang juga ikut terbang ke Belanda.

Nasir Usman yang biasa terlihat viral di jejaring sosial menyerukan pesan kepada seluruh bangsa Aceh, Papua, Maluku untuk bangkit merebut kembali tanah air yang saat ini dikuasai oleh Indonesia karena dalam sejarah tertulis dengan jelas bahwa kedudukan Indonesia di tanah Papua, Maluku, Aceh adalah ilegal alias haram.

“Pejuang-pejuang kita telah berkorban segala-galanya. Air mata, darah bahkan nyawa demi tegaknya negara kita punya masing-masing,” tegas Nasir sambil mengepalkan tangan memberikan salam perjuangan dari kota Den Haag.

Hasan Tiro, Seth Rumkorem serta Chris Soumokil memang telah tiada. Namun anak didik mereka tetap komitmen meneruskan amanah perjuangannya.

Dari Belanda, kolaborasi tiga bangsa yang berbeda bendera tersebut kini menjadi sekutu untuk tujuan bersama.  Penulis Asnawi Ali, berdomisili di Swedia.

Share.
Leave A Reply